Trotoar Buat Manusia

Aku melihatmu berdiri di tepi jalan raya
Tapi aku tahu sebenarnya engkau tak berdiri, engkau adalah sehelai daun tua yang melayang-lauang oleh hembusan angin besar
Engkau tercampak dari sudut ke sudut, dari parit ke parit, dari kegalauan ke ketidakmenentuan
Caramu berdiri gamang, kerut merut wajahmu tak kuasa menahan desakan-desakan jiwa tersembunyi, dan sorot matamu memandang tak ke mana-mana selain ke balik rahasia sajak dukamu sendiri
Dimanakah engkau bisa temukan hamparan tanah untuk mendirikan rumah buat hati puisimu yang lunglai?
Pembangunan tak mendukung manusia, kantor dan toko – toko tak menghendakinya, kendaran di jalanan tak menghampirinya
Kekuasaan di tengkukmu tidak menyangga janji-janjinya sendiri, kertas-kertas birokrasi memeras alam dan darah berjuta saudara-saudarimu, untuk secara sejarah menyelenggarakan bunuh diri

Aku melihatmu berdiri di tempat yang tak menghendakimu berdiri, aku melihatmu berdiri di tempat yang akan mengusirmu pergi
Aku melihatmu berdiri di tepi jalan raya, tetapi siapakah engkau dan apakah jalan raya, lajur – lajur, highway, derap pembangunan, mobilitas, dan gegap gempita?
Adakah trotoar buat manusia, angkring kakilima untuk puisi dan suara jiwa yang sejati?
Sajakmu tak kunjung lahir, sebab penggusuran kemanusiaan tidaklah ke pulau seberang, melainkah jauh ke ruang hampa batin rakyat yang kebingungan

~ by samsira on 14 May 2009.

Leave a comment